Legenda Piedra
by Grey Antiokha Gonzaga on Saturday, September 24, 2011 at 5:46pm
Di tepi Sungai Piedra aku duduk dan menangis. Udara musim dingin membuat air mata yang mengalir di pipiku terasa dingin, dan air mataku menets ke air sungai dingin yang menggelegak melewatiku. Disuatu tempat entah dimana, sungai ini akan bertemu sungai lain, lalu yang lain lagi, hingga – jauh dari hati dan pandanganku – semuanya menyatu dengan lautan.
Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar kekasihku tak pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar aku dapat melupakan Sungai Piedra, biara, gereja di Pengunungan Pyrenee, kabut, dan jalan-jalan yang kami lalui bersama.
Aku akan melupakan jalan-jalan, pegunungan, dan padang-padang mimpi-mimpiku – mimpi-mimpi yang takkan pernah menjadi kenyataan.
Aku ingat “saat magis” -ku – saat ketika sebuah “ya” atau “tidak” dapat mengubah hidup seseorang untuk selamanya. Rasanya sudah lama sekali. Sulit dipercaya baru minggu lalu aku menemukan cintaku lagi, dan kemudian kehilangan dirinya.
Aku menulis kisah ini di tepi Sungai Piedra. Tanganku terasa beku, kakiku mati rasa, dan setiap menit aku ingin berhenti.
“Hiduplah. Mengenangnya hanya untuk orang-orang tua,” ia berkata.
Mungkin cinta membuat kita menua sebelum waktunya – atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat. Namun mana mungkin aku tidak mengenang saat-saat itu? Itulah sebabnya aku menulis – mencoba mengubah getir menjadi rindu, sepi menjadi kenangan. Sehingga ketika aku selesai menceritakan kisah ini pada diriku sendiri, aku bisa melemparkannya ke Piedra. Itulah yang dikatakan wanita yang memberiku tempat menginap. Ketika itulah – seperti kata salah satu orang kudus – air sungai akan memadamkan apa yang telah ditulis oleh lidah api.
Semua kisah cinta tiada berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar