Minggu, 29 Desember 2013

Grey










Saat purnama menghilang, kita masih punya obor yang tinggi di atas cakrawala. Namun tidak kali ini. Pagi yang kelabu. Tak ada tetesan hujan. Hanya embun yang masih membelai kelopak bunga violet. Angin tampak pulas. Sinar mentari tak datang mengelusnya.
Aku teringat Grey. Ia tinggal di ujung jalan rumahku. Usianya lebih tua sepuluh tahun dariku. Wajahnya tak mengisyaratkan keanehan. Kecantikannya seperti singa liar, tulang pipinya meninggi, dan matanya seperti embun. Ia bak Ratu Casiopea. Seperti syair-syair penyembah berhala yang membuat darahku berdesir lebih cepat dari biasanya. Di halaman rumahnya terdapat taman rahasia yang menumbuhkan tanaman-tanaman ivy beracun sang penyihir. Datura stramonium, Belladonia, ataupun Hemlock si cemara beracun. Ada pula tanaman Hellebore dan bisa menyebabkan muntah-muntah pada seseorang yang hendak memegang ataupun mencabutnya. Atau tanaman Dittany, saat berbunga dapat memabukkan tukang kebun. Seolah-olah tukang kebun telah meminum anggur. Dan Fraxinella, tanaman rambat yang mampu menyebabkan jantung berdebar kencang, kepala berdenyut luar biasa, dan membuat segala suara menghilang. Sawan yang hebat. Perlahan-lahan anggota tubuh menjadi kaku.
“Dari mana kaudapakan semua tanaman ini,Grey?” tanyaku pertama kali singgah di rumahnya.
“Hutan...”jawabnya.
Grey mempunyai perpustakaan rahasia di dalam rumahnya. Ia menunjukkan padaku sebuah peti mati yang berisi koleksi-koleksi berharganya.  Di dalamnya tersimpan buku-buku tua.  Antara lain buku-buku tentang ilmu nujum, catatan resep obat pekasih yang keji, gospel-gospel terlarang, manuskrip Templar asli yang saat ini dicari ilmuwan, gulungan tua, bahkan mantra. Syair-syair gelap Donatus, Eutiches, Servis, Phocas, Hisperica, hingga syair Priscian.
Banyak yang bisa kukatakan. Ia sebagai sumber godaan. Kata-katanya seperti api yang membakar. Manuskrip kuno mengatakan jika wanita merebut jiwa yang berharga dari seorang pria. Dan para pria yang paling kuat pun sanggup diruntuhkannya. Aku menemukan kenyataan pahit daripada kematian seorang wanita. Hatinya adalah perangkap dan jaring. Dan tangannya seperti penjerat. Yang lain mengatakan, wanita adalah wadah iblis. Pada kenyataannya, Tuhan menciptakan pria sebagai dasar dunia ini dari lumpur. Sedangkan wanita dicipta belakangan. Di dalam sorga. Dari zat manusia yang mulia. Wanita berasal bukan dari kaki Adam atau dari isi perutnya. Melainkan dari tulang rusuknya. Namun tak dapat dihindari bahwa Tuhan memberi wanita banyak keistimewaan dan motif harga diri. Anak Mamusia pun memilih untuk mendiami seorang rahim wanita. Sebuah tanda bahwa bagaimanapun juga wanita tidaklah buruk. Sang Real.
“Manusia mempunyai tanggungan airmata yang harus mereka bayar sebelum mati. Tidak melulu berkaitan dengan percintaan maupun kematian. Akan tetapi satu takdir yang ditulis oleh Tangan yang Sama.” katanya.
Grey selalu memiliki pemikiran gelap tentang kehidupan yang membuat aku jatuh cinta padanya. Ia juga jatuh cinta. Tapi tidak padaku, melainkan kepada gulungan kitab kuno yang menurutnya lebih menggairahkan daripada bercinta dengan seorang pria pujaan sekalipun. Cerita-cerita sesat kerap kali terlontar dari bibir pucatnya. Kata Grey, leluhurnya hidup di zaman binatang dengan satu tanduk di kening. Binatang itu bernama unicorn. Makhluk yang selalu ada di dunia khayalan anak-anak. Konon, jika seorang pria dan seorang gadis pergi ke hutan dan bertemu dengan seorang unicorn, maka sang pria harus meninggalkan gadis itu di hutan. Jika tidak, si pria akan berubah menjadi unicorn dan hidup di hutan selamanya. Lalu sang gadis yang ditinggalkan akan berubah menjadi Dark Siren atau Iblis hutan. Cerita yang gelap.
“Hiburlah dirimu sendiri jika orang tidak percaya akan ceritamu. Karena semua itu nyata. Meski hanya dalam pikiranmu. Dan akan menjadi nyata suatu hari kelak,”katanya padaku.
Rupanya ia percaya akan dongeng wasiat dari leluhurnya. Tentang peri hutan, bahkan Unicorn. Tidak haram untuk memaksakan batas-batas imajinasi yang tak terbatas. Grey membenci Nostradamus. Entah karena ramalan tentang akhir zaman atau khawatir jika manusia lebih menyembah kitab Nostradamus. Labirin neraka lembut, umpatnya selalu.
“Banyak ritual yang diadakan di desa-desa hanya karena takut diganggu roh jahat yang tinggal di hutan seberang sungai. Padahal mereka mengaku mempunyai Tuhan,”sarkasnya.
“Apa kaupercaya Tuhan, Grey?”tanyaku agak ragu. Aku takut dia marah.
Grey diam beberapa saat. Lalu ia tertawa. Aku kebingungan.
“Aku pernah mempunyai Tuhan di masa lampau, tapi tidak sekarang,”ia menjawab.
“Maksudmu?” aku tambah bingung.
“Setiap hari aku mengucap doa dan syukur. Persepuluhan dan persembahan juga kuberikan padaNya. Namun yang kuterima bukan muzizat, namun sebuah kehilangan luar biasa. Tuhan mengambil ibuku. Satu-satunya manusia yang mencintaiku dari kecil,”katanya.
Aku tertegun. Diam.
“Hey, apa kau mau chamomile hangat?” tanya Grey.
“Ya...” jawabku tersenyum.
Jika  kita hendak berperang, kita pun harus mengenal rupa musuh kita. Jika  bisikan iblis bergema di dalam pikiran, maka yang timbul adalah sesuatu di mana tak ada ketakutan akan Tuhan. Karena sesuatu yang keluar dari mulutnya ialah dakwa dan ketidakadilan. Hal itu tampak seperti tanda buruk bagi jiwa yang hampir bertemu maut. Kematian jiwa manusia itu sendiri. Tuhan tidak pernah mengambil sesuatu yang akan membuat manusia sedih. Ia justru menyelamatkan manusia. Agar sesuatu yang dianggap berharga itu tidak menjadi berhala baginya. Grey pasti kecewa pada Tuhan. Sehingga ia tidak mau berteman lagi dengan Sesuatu Yang Serba Aneh itu. Aku tidak pandai menasehati, namun kupikir ia harus meniru kisah Ayub. Pada awalnya, Ayub mempunyai banyak lembu, harta, dan keluarga yang sempurnya. Namun suatu hari Iblis datang menghancurkan segalanya. Ayub sendiri yang tersisa. Ia kecewa pada Tuhan karena mengizinkan hal itu terjadi. Ia mengutuk Tuhan dengan mulutnya. Namun tangan Tuhan sepanjang kesabaranNya. Ia mengulurkan Tangan untuk Ayub. Hingga akhirnya Ayub menyadari jika kasih Tuhan secara pribadi menantinya. Ayub kembali mencintai Tuhan. Lebih dari pada sebelumnya. Dan Tuhan mengganti apa yang diambil iblis tiga kali lipat. Ayub merenung dan menyadari jika apa yang pernah melekat pada hidupnya dapat membuatnya terpisah dari Pribadi yang benar-benar mencintainya.
           
Hal yang terakhit kuingat dari Grey ialah saat penduduk desa membakar rumahnya. Dengan kemaraham, warga menyerca Grey sebagai penyihir. Aku ingin menyelamatkannya, namun menjangkahkan kaki pun aku tak mampu. Lidahku kelu. Mulutku terbungkam. Tubuhku terbujur kaku melihat api menjalar ke seluruh rumahnya. Lautan neraka kecil yang selalu ia gambarkan padaku kini menaungi tempat tinggalnya. Tak ada suara jeritan atau teriakan dari rumah terbakar tersebut. Yang kudengar hanya paduan suara tawa yang bermakna kebencian, kepuasan, dan kesenangan. Grey mati bersama harta karunnya.
Grey. Aku sangat merindukanmu. Pagi yang dingin.
“Barangkali alam masih berkabung atas kematiannya,”suaraku lirih.
“Siapa yang kaumaksud Calambu?”suara Suster Lilith yang tiba-tiba masuk kamar mengagetkanku.
“Grey...” jawabku.
“Kaumerindukannya?” ia kembali bertanya sambil mengukur suhu tubuhku.
Aku mengangguk. Diam. Menatap keluar jendela. Aku mulai bosan di sini. Di rumah sakit tua pinggiran pulau. Aku tak tahu apa penyakitku, namun kata Suster Lilith, aku mengalami tekanan sejak Grey meninggal. Aku mencoba bicara pada orang tuaku tentang Grey, namun mereka menolak. Mereka bilang Grey tidak pernah ada. Dasar gila. Padahal jelas-jelas mereka yang melarangku keluar rumah pada saat penduduk kampung membakar rumahnya.
“Cukup baik. Baiklah, aku akan kembali bertugas. Berdoalah untuk Grey jika kau sempat,”katanya sambil menutup pintu ruangan.
“Aku tak begitu religius, namun aku hafal beberapa doa yang pernah diajarkan nenekku,”pikirku.
Aku membetulkan selimut. Udara sangat dingin di sini. Ya,asylum yang dingin.

Jumat 13
Ksatria Templar

Rabu, 16 Oktober 2013

great teacher




There is a story many years ago of an elementary teacher. Her name was Mrs. Thompson. And as she stood in front of her 5th grade class on the very first day of school, she told the children a lie. Like most teachers, she looked at her students and said that she loved them all the same.

But that was impossible, because there in the front row, slumped in his seat, was a little boy named Teddy Stoddard. Mrs. Thompson had watched Teddy the year before and noticed that he didn’t play well with the other children, that his clothes were messy and that he constantly needed a bath. And Teddy could be unpleasant. It got to the point where Mrs. Thompson would actually take delight in marking his papers with a broad red pen, making bold X’s and then putting a big “F” at the top of his papers.

At the school where Mrs. Thompson taught, she was required to review each child’s past records and she put Teddy’s off until last. However, when she reviewed his file, she was in for a surprise.

Teddy’s first grade teacher wrote, “Teddy is a bright child with a ready laugh. He does his work neatly and has good manners. He is a joy to be around.”

His second grade teacher wrote, “Teddy is an excellent student, well liked by his classmates, but he is troubled because his mother has a terminal illness and life at home must be a struggle.”

His third grade teacher wrote, “His mother’s death has been hard on him. He tries to do his best but his father doesn’t show much interest and his home life will soon affect him if some steps aren’t taken.”

Teddy’s fourth grade teacher wrote, “Teddy is withdrawn and doesn’t show much interest in school. He doesn’t have many friends and sometimes sleeps in class.”

By now, Mrs. Thompson realized the problem and she was ashamed of herself. She felt even worse when her students brought her Christmas presents, wrapped in beautiful ribbons and bright paper, except for Teddy’s. His present which was clumsily wrapped in the heavy, brown paper that he got from a grocery bag.

Mrs. Thompson took pains to open it in the middle of the other presents. Some of the children started to laugh when she found a rhinestone bracelet with some of the stones missing, and a bottle that was one quarter full of perfume. But she stifled the children’s laughter when she exclaimed how pretty the bracelet was, putting it on, and dabbing some of the perfume on her wrist.

Teddy Stoddard stayed after school that day just long enough to say, “Mrs. Thompson, today you smelled just like my Mom used to.” After the children left she cried for at least an hour. On that very day, she quit teaching reading, and writing, and arithmetic. Instead, she began to teach children.

Mrs. Thompson paid particular attention to Teddy. As she worked with him, his mind seemed to come alive. The more she encouraged him, the faster he responded. By the end of the year, Teddy had become one of the smartest children in the class and, despite her lie that she would love all the children the same, Teddy became one of her “teacher’s pets.”

A year later, she found a note under her door, from Teddy, telling her that she was still the best teacher he ever had in his whole life. Six years went by before she got another note from Teddy. He then wrote that he had finished high school, third in his class, and she was still the best teacher he ever had in his whole life.

Four years after that, she got another letter, saying that while things had been tough at times, he’d stayed in school, had stuck with it, and would soon graduate from college with the highest of honors. He assured Mrs. Thompson that she was still the best and favorite teacher he ever had in his whole life.

Then four more years passed and yet another letter came. This time he explained that after he got his bachelor’s degree, he decided to go a little further. The letter explained that she was still the best and favorite teacher he ever had. But now his name was a little longer—the letter was signed, Theodore F. Stoddard, M.D.

The story doesn’t end there. You see, there was yet another letter that spring. Teddy said he’d met this girl and was going to be married. He explained that his father had died a couple of years ago and he was wondering if Mrs. Thompson might agree to sit in the place at the wedding that was usually reserved for the mother of the groom. Of course, Mrs. Thompson did. And guess what? She wore that bracelet, the one with several rhinestones missing. And she made sure she was wearing the perfume that Teddy remembered his mother wearing on their last Christmas together.

They hugged each other, and Dr. Stoddard whispered in Mrs. Thompson’s ear, “Thank you Mrs. Thompson for believing in me. Thank you so much for making me feel important and showing me that I could make a difference.” Mrs. Thompson, with tears in her eyes, whispered back. She said, “Teddy, you have it all wrong. You were the one who taught me that I could make a difference. I didn’t know how to teach until I met you.”

"Wake Up"



I'm going to ride this plane out of your life again.
I wish that I could stay but you argue.
More than this I wish you could've seen my face
In backseat staring out the window.

I'll do anything for you,
Kill anyone for you.

So leave yourself intact
'Cause I will be coming back.
In a phrase to cut these lips,
I love you.

The morning will come
In the press of every kiss
With your head upon my chest
Where I will annoy you
With every waking breath
Until you decide to wake up.

I've earned through hope and faith
The curves around your face
That I'm the one you'll hold forever.
If morning never comes for either one of us,
Then this I pray to you wherever.

I'll do anything for you.
This story is for you.
I'll do anything for you,
Kill anyone for you.

So leave yourself intact
'Cause I won't be coming back.
In a phrase to cut these lips,
I loved you.

The morning will come
In the press of every kiss
With your head upon my chest
Where I will annoy you
With every waking breath
Until you decide to wake up.

The morning will come
In the press of every kiss
With your head upon my chest
Where I will annoy you
With every waking breath
'Til you decide to wake up.

Senin, 29 Juli 2013

Said Goodbye

Said Goodbye


It's gotten cold, it's raining, you left
Things are clear now, the one I love, I've lost
The fallen leaves float on the surface of the lake sleeping

I want to let go, yet I can't let go, the tears are drifting
You take a look, you take a look but can't see
I pretend the past isn't important, yet I find out I can't do it

[We] said goodbye, only then do I find out we can't see each other again
I can't just lose your smile like this
The lipstick is on the corner of the table, but you and I can't find it
What do you say if we switched roles?

[We] said goodbye, only then do I find out we can't see each other again
Can I just bear the pain and hold back the tears like this
You said you'd be with me till we're old and that we'd go there to find eternity
Just another hug, a minute, a second will do

Your smile, your goodness, in my mind, they constantly whirl around
My hand can't forget the warmth of your hand
My heart breaks into pieces on the ground, I can't pick up that heart beat from the past
I'm imprisoned in the past and have no strength to run away

[We] say goodbye, only then do I find out we can't see each other again
Can I just bear the pain and hold back the tears like this
You said you'd be with me till we're old and that we'd go there to find eternity
Just another hug, a minute, a second will do

Kamis, 25 Juli 2013

Fake Plastic Tree

Her green plastic watering can
For her fake Chinese rubber plant
In the fake plastic earth
That she bought from a rubber man
In a town full of rubber plans
To get rid of itself

It wears her out, it wears her out
It wears her out, it wears her out

She lives with a broken man
A cracked polystyrene man
Who just crumbles and burns
He used to do surgery
For girls in the eighties
But gravity always wins

It wears him out, it wears him out
It wears him out, it wears...

She looks like the real thing
She tastes like the real thing
My fake plastic love
But I can't help the feeling
I could blow through the ceiling
If I just turn and run

And It wears me out, it wears me out
It wears me out, it wears me out

And If I could be who you wanted
If I could be who you wanted all the time

Jumat, 19 Juli 2013

buku baru Coelho Accra

"Kecemasan lahir pada saat yang sama dengan manusia. Dan karena kita tidak akan pernah bisa menguasainya, kita harus belajar untuk hidup bersamanya -sama seperti kita telah belajar untuk hidup bersama badai."
paulo coelho
gambar dari Goodread

14 Juli 1099. Yerusalem menunggu invasi tentara salib yang telah mengepung gerbang kota. Di sana, di dalam tembok kota kuno, pria dan wanita dari segala usia dan setiap agama telah berkumpul untuk mendengar kata-kata bijak dari seorang pria misterius yang hanya dikenal sebagai Imam Koptik tersebut. Dia telah memanggil warga kota untuk mengatasi ketakutan mereka dengan kebenaran:
“Di masa yang akan datang, harmoni berubah menjadi perselisihan. Sukacita akan digantikan oleh kesedihan. Perdamaian memicu perang. Tidak seorang pun tahu adakah yang masih bisa bertahan, karena setiap hari memiliki saat-saat baik dan saat-saat buruknya masing-masing. Jadi, ketika kamu mengajukan pertanyaanmu, lupakanlah pasukan di luar dan ketakutan yang ada di dalam. Tugas kita bukanlah untuk meninggalkan catatan tentang apa yang terjadi pada tanggal ini, bagi mereka yang akan mewarisi bumi; sejarah yang akan mengurus itu. Sebab itu, kita akan berbicara tentang kehidupan kita sehari-hari, tentang kesulitan yang harus kita hadapi. “Orang-orang mulai mempertanyakan tentang kekalahan, perjuangan, dan yang menjadi musuh-musuh mereka; mereka merenungkan kemauan untuk berubah dan nilai-nilai kebajikan loyalitas serta kesendirian; dan mereka akhirnya beralih mempertanyakan keindahan, cinta, kebijaksanaan, seks, keanggunan, dan masa depan yang dapat diraih. “Apakah kesuksesan itu?” tanya Imam Koptik tersebut. “Kesuksesan adalah ketika kamu dapat pergi ke tempat tidur setiap malam dengan jiwa yang damai.”
***
Saat ini, setelah melewati waktu berabad-abad, jawaban orang bijak itu menjadi semacam catatan nilai-nilai manusia yang terus berubah sepanjang waktu. Dan, di tangan Paulo Coelho, Naskah yang Ditemukan di Accra mengungkapkan bahwa siapa diri kita, apa ketakutan kita, dan apa yang kita harapkan untuk masa depan, adalah  berasal dari pengetahuan serta keyakinan yang dapat ditemukan di dalam diri kita, dan bukan dari kesulitan yang mengelilingi kita.

Kamis, 18 Juli 2013

under the west way

"Under The Westway"

There were blue skies in my city today
Ev'rything was sinking
Said snow would come on Sunday
The old school was due and the traffic grew
Upon the Westway
Where I stood watching comets lonesome trails
Shining up above me the jet fuel it fell
Down to earth where the money always comes first
And the sirens sing

Bring us the day they switch off the machines
'Cause men in yellow jackets putting adverts inside my dreams
An automated song and the whole world gone
Fallen under the spell of the distance between us when we communicate
Still picking up shortwave
Somewhere they're out in space
It depends how you're wired when the night's on fire
Under the Westway

Now it's magic arrows hitting the bull
Doing one eighty still standing at last call
When the flags coming down
And the Last Post sounds
Just like a love song
For the way I feel about you
Paradise not lost it's in you
On a permanent basis I apologize
But I am going to sing

Hallelujah
Sing it out loud and sing it to you
Am I lost out at sea
'Til a tide wash me up off the Westway