Bunuh diri bukanlah sesuatu yang aneh di Jepang.
Tindakan menghabisi nyawa sendiri bahkan pernah berkembang dengan ritual-ritual
tertentu dan menjadi tradisi yang dijunjung tinggi. Bunuh diri dilakukan
terkait dengan berbagai alasan seperti rasa malu, atau rasa tanggung jawab pada
pekerjaan atau tugas. Bila seseorang merasa sangat bersalah atau menyusahkan
orang lain, maka mereka akan sangat mudah melakukan bunuh diri.
Tindakan seppuku
pertama kali dicatat dalam literatur setelah Minamoto no Yorimasa
melakukan seppuku dalam Pertempuran Uji pada tahun 1180. Seppuku akhirnya menjadi bagian penting dari
kode kehormatan samurai
yang disebut bushido.
Seppuku dulunya dilakukan oleh samurai
untuk menghindar dari tangkapan musuh, serta untuk mengurangi rasa malu, dan
menghindari dari kemungkinan penyiksaan.
Samurai
yang telah membuat malu kadang-kadang diizinkan tuan mereka untuk melakukan
seppuku sebagai alternatif dari hukuman
mati. Samurai juga dapat melakukan seppuku berdasarkan perintah tuan
tanah feodal yang disebut daimyo. Bentuk
seppuku yang paling umum dilakukan laki-laki adalah merobek perut, dan setelah
samurai tersebut selesai merobek perutnya, ia menengadahkan kepala sebagai
isyarat agar kepalanya segera dipancung oleh seorang rekan yang berada di
belakangnya, dan bertugas sebagai pendamping samurai dalam ritual seppuku. Oleh
karena maksud utama dari seppuku adalah pemulihan kehormatan seorang samurai, mereka
yang bukan termasuk kelas samurai tidak pernah diperintahkan atau diharapkan
untuk melaksanakan seppuku. Lalu, menapa perut menjadi pilihan? Kenapa bukan bagian tubuh
yang lain?
Orang Jepang dahulu berpandangan perut merupakan
tempat bersemayamnya nyawa. Perut adalah pusat fisik dari tubuh, dan mereka
beranggapan perut merupakan sasaran untuk menyatakan kehendak pemikiran,
kemurahan hati, keberanian, semangat, kemarahan, tindak permusuhan adan
lain-lain. Dalam hubungan antar manusia dan psikologi
masyarakat tradisional Jepang, urusan “perut” Hara 「腹」 ini, menjadi hal yang penting. Mengapa demikian?
Jack Seward dalam
bukunya “Hara-kiri: Japanese Ritual Suicide” menerangkan, bahwa, istilah “perut” Hara
「腹」 ini,
memiliki kesamaan arti dengan kata Hari 「張り」 yang berarti “tegangan”.
Ungkapan Hara
wo saguru 「腹を探る」 yang memiliki arti harfiah ‘mencari atau
mengkira-kira ukuran perut’ ini digunakan seperti hal berikut. Misalnya, jika
seseorang berusaha untuk mengetahui rencana, keinginan, atau pikiran lawan
dalam sebuah interaksi yang tanpa disertai komunikasi verbal,
maka dikatakan bahwa orang itu telah membaca atau mengukur hara atau perut orang lain. Lain lagi dengan ungkapan Hara wo waru 「腹 を割る」, arti hafiahnya, ‘membuka perut atau
membelah perut’ yang erat hubungannya dengan keterbukaan dalam sebuah
komunikasi. Jika seseorang sudah berbicara secara terbuka kepada orang
lain, berarti ia telah membuka “perut”nya sendiri. Misalnya, pernyataan Hara wo watte, hanashimashou
「腹を割って話しましょう」 secara harfiah,
ungkapan ini berarti ‘mari
kita buka perut kita masing-masing dan mari saling terbuka’. Dan
sering juga dikatakan bahwa, “perut” orang jahat berwarna hitam.
Dari semuanya itu, yang paling penting adalah
apa yang disebut haragei 「腹 芸」, berarti ‘seni perut’. yakni, seni dalam
memahami perasaan orang lain dalam masalah tertentu. Dengan saling menghargai
“seni perut” ini diharapkan komunikasi yang harmonis bisa terwujud,
dengan cara saling pengertian, walau tanpa komunikasi verbal sekalipun. Orang
Jepang memaknai haragei
’seni
perut’ ini, sebagai bentuk tertinggi dari komunikasi interpersonal. Seseorang
yang sedang bermasalah atau tidak ingin memperuncing konflik yang sudah
terjadi, dia akan menaik-turunkan emosionalnya, menyesuaikan alur komunikasi
dalam upaya mempereda konflik.
Tidak jarang keluar keluhan dari orang-orang
asing yang sedang mengadakan negoisasi bisnis dengan orang-orang Jepang,
ternyata mereka memakai seni untuk mengatur “perut”nya. Sangat diperlukan
kesabaran dan ketelatenan dalam memahami orang Jepang. Dan orang asing ini,
tampaknya harus memahami “seni perut” itu sebelum berunding dengan orang
Jepang, karena perut inilah dianggap tempat yang paling berharga bagi orang
Jepang. Oleh sebab itu muncul
anggapan bahwa “isi perut” harus dikeluarkan, jika seseorang merasa bersalah
atau ingin menunjukkan kehormatan dan harga dirinya. karena itu, ada
istilah hara kiri
「腹切り」, atau lebih dikenal dengan 切腹 seppuku,
yang artinya, ‘memotong atau mengiris perut’ , cara ini kerap dipakai para
samurai untuk bunuh diri pada jaman dulu, jika yang bersangkutan menganggap
harga dirinya hilang untuk menutup rasa malunya. Akan tetapi, pada jaman modern sekarang ini, sebagian
masyarakat berpendapat, jika seseorang bunuh diri dimaksudkan untuk menutup
malunya, akan dianggap tak bertanggung jawab, karena meninggalkan PR bagi yang
hidup. Ya, kapan pun di mana pun ada pro-kontra untuk memaknai sebuah istilah
yang bersangkutan dengan “hidup-mati”. Bagaimana kita menyikapinya, berpulang
pada diri pribadi masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar