Rabu, 13 Agustus 2014

The Art of Seppuku




Bunuh diri bukanlah sesuatu yang aneh di Jepang. Tindakan menghabisi nyawa sendiri bahkan pernah berkembang dengan ritual-ritual tertentu dan menjadi tradisi yang dijunjung tinggi. Bunuh diri dilakukan terkait dengan berbagai alasan seperti rasa malu, atau rasa tanggung jawab pada pekerjaan atau tugas. Bila seseorang merasa sangat bersalah atau menyusahkan orang lain, maka mereka akan sangat mudah melakukan bunuh diri.
Tindakan seppuku pertama kali dicatat dalam literatur setelah Minamoto no Yorimasa  melakukan seppuku dalam Pertempuran Uji pada tahun 1180.  Seppuku akhirnya menjadi bagian penting dari kode kehormatan samurai yang disebut bushido.  Seppuku dulunya dilakukan oleh samurai untuk menghindar dari tangkapan musuh, serta untuk mengurangi rasa malu, dan menghindari dari kemungkinan penyiksaan.
Samurai yang telah membuat malu kadang-kadang diizinkan tuan mereka untuk melakukan seppuku sebagai alternatif dari hukuman mati. Samurai juga dapat melakukan seppuku berdasarkan perintah tuan tanah feodal yang disebut daimyo. Bentuk seppuku yang paling umum dilakukan laki-laki adalah merobek perut, dan setelah samurai tersebut selesai merobek perutnya, ia menengadahkan kepala sebagai isyarat agar kepalanya segera dipancung oleh seorang rekan yang berada di belakangnya, dan bertugas sebagai pendamping samurai dalam ritual seppuku. Oleh karena maksud utama dari seppuku adalah pemulihan kehormatan seorang samurai, mereka yang bukan termasuk kelas samurai tidak pernah diperintahkan atau diharapkan untuk melaksanakan seppuku. Lalu, menapa perut menjadi pilihan? Kenapa bukan bagian tubuh yang lain?
Orang Jepang dahulu berpandangan perut merupakan tempat bersemayamnya nyawa. Perut adalah pusat fisik dari tubuh, dan mereka beranggapan perut merupakan sasaran untuk menyatakan kehendak pemikiran, kemurahan hati, keberanian, semangat, kemarahan, tindak permusuhan adan lain-lain. Dalam hubungan antar manusia dan psikologi masyarakat tradisional Jepang, urusan  perut” Hara 「腹」 ini, menjadi hal yang penting. Mengapa demikian? Jack Seward dalam bukunya “Hara-kiri: Japanese Ritual Suicide menerangkan, bahwa, istilah “perut” Hara 「腹」 ini, memiliki kesamaan arti dengan kata Hari 「張り」 yang berarti  “tegangan”.
Ungkapan Hara wo saguru 「腹を探る」 yang memiliki arti harfiah ‘mencari atau mengkira-kira ukuran perut’ ini digunakan seperti hal berikut. Misalnya, jika seseorang berusaha untuk mengetahui rencana, keinginan, atau pikiran lawan dalam sebuah interaksi  yang tanpa disertai komunikasi verbal, maka dikatakan bahwa orang itu telah membaca atau mengukur hara atau perut orang lain. Lain lagi dengan ungkapan Hara wo waru 「腹 を割る」, arti hafiahnya, ‘membuka perut atau membelah perut’ yang erat hubungannya dengan keterbukaan dalam sebuah komunikasi. Jika seseorang sudah berbicara secara terbuka kepada orang lain, berarti ia telah membuka “perut”nya sendiri. Misalnya, pernyataan Hara wo watte, hanashimashou 「腹を割って話しましょう」 secara harfiah, ungkapan ini berarti ‘mari kita buka perut kita masing-masing dan mari saling terbuka’. Dan sering juga dikatakan bahwa, “perut” orang jahat berwarna hitam.
Dari semuanya itu, yang paling penting adalah apa yang disebut haragei 「腹 芸」, berarti ‘seni perut’. yakni, seni dalam memahami perasaan orang lain dalam masalah tertentu. Dengan saling menghargai “seni perut”  ini diharapkan komunikasi yang harmonis bisa terwujud, dengan cara saling pengertian, walau tanpa komunikasi verbal sekalipun. Orang Jepang memaknai haragei  ’seni perut’ ini, sebagai bentuk tertinggi dari komunikasi interpersonal. Seseorang yang sedang bermasalah atau tidak ingin memperuncing konflik yang sudah terjadi, dia akan menaik-turunkan emosionalnya, menyesuaikan alur komunikasi dalam upaya mempereda konflik.
          Tidak jarang keluar keluhan dari orang-orang asing yang sedang mengadakan negoisasi bisnis dengan orang-orang Jepang, ternyata mereka memakai seni untuk mengatur “perut”nya. Sangat diperlukan kesabaran dan ketelatenan dalam memahami orang Jepang. Dan orang asing ini, tampaknya harus memahami “seni perut” itu sebelum berunding dengan orang Jepang, karena perut inilah dianggap tempat yang paling berharga bagi orang Jepang. Oleh sebab itu muncul anggapan bahwa “isi perut” harus dikeluarkan, jika seseorang merasa bersalah atau ingin menunjukkan kehormatan dan harga dirinya. karena itu, ada istilah  hara kiri 「腹切り」, atau lebih dikenal dengan 切腹 seppuku, yang artinya, ‘memotong atau mengiris perut’ , cara ini kerap dipakai para samurai untuk bunuh diri pada jaman dulu, jika yang bersangkutan menganggap harga dirinya hilang untuk menutup rasa malunya. Akan tetapi, pada jaman modern sekarang ini, sebagian masyarakat berpendapat, jika seseorang bunuh diri dimaksudkan untuk menutup malunya, akan dianggap tak bertanggung jawab, karena meninggalkan PR bagi yang hidup. Ya, kapan pun di mana pun ada pro-kontra untuk memaknai sebuah istilah yang bersangkutan dengan “hidup-mati”. Bagaimana kita menyikapinya, berpulang pada diri pribadi masing-masing.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar